Mentari Delapan Mei

Pagi ini mentari menyambutku penuh tanda tanya, aku membuka setengah

lengan bingkai jendela kamarku dan ku sambut kedatangannya yang penuh warna

keemasan. Indah! Sangat indah!. Burung-burung merpati dari loteng tetangga

mengepakkan sayapnya bersamaan, seakan menyapaku “selamat pagi”, aku

membalasnya penuh senyuman.

Delapan Mei, kasurku masih berantakan dengan buku novel, buku Mikro Ekonomi

yang tebalnya seratus kali lipat dari kumis Bapak kostan yang tadi malam

membukakan pintu ketika aku pulang dari sibuknya aktifitas kampus dan ada

satu buku yang juga tergeletak dikasurku, buku yang menceritakan kisah lampau

Bandar Udara Adi Sudjipto, Yogyakarta. Baru setengah ku baca, karena memang

cukup tebal tapi tak setebal buku Mikro Ekonomi. Aku sejenak terdiam, hatiku lirih

mengingat pemilik buku kisah lampau ini. Aku sangat merindukan Ibrahim, yang

kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan Baim. Ia sedang melanjutkan

study di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia. Sudah dua bulan aku tidak

berjumpa dengan pemilik tinggi badan 179 cm itu, jika aku bertemu dengannya aku

selalu menjinjitkan kakiku agar dapat menyerupai tinggi badannya dan dia selalu

tertawa bahkan mencubit pipiku hingga aku kesakitan. Haha aku benar- benar

sangat rindu padanya!. Bayangan itu pergi begitu cepat, dan pagi ini dia belum juga

meneleponku. Ada sedikit kekhawatiran yang berputar mengelilingi bola mataku.

“ Ah, dia pasti sedang apel pagi. Jadi belum sempat menghubungiku”. Ucapku

dalam hati.

Aku menghembuskan nafas perlahan-lahan, ku hirup udara segar yang sedikit

membuatku tenang, ku biarkan ponselku tergeletak diatas kasur bersama buku-buku

yang belum sempat ku susun kembali. Aku beranjak merendam pakaian yang mulai

menggunung untuk segera ku cuci.

“ Put, yuk bangun!”. Ajakku pada Putri sahabat satu kamarku.

“ iyaaaaa!”. Jawab Putri dengan mata yang belum sanggup dibuka.

Aku segera mencuci pakaian dan Putri sedang bersiap-siap untuk mandi, aku akan

menyusul setelahnya.

Pukul 07.15 WIB, aku telah selesai mencuci dan mandi. Aku segera bersiap-siap

untuk pergi ke Kampus. Putri yang masih mengutak-atik ponselnya dengan santai ia

masih menggunakan jeans dan fanel.

“ Put, ayo!”.

“ Iya iya. Eh Din, hari ini loe ikut seminar kan?”.

“ Iya, gua ikut put.”.

Sebelum Putri mengunci pintu kamar, aku segera meraih ponsel milikku. Tidak ada

satupun panggilan masuk atau pesan masuk dari Baim.

“ Ya sudah sebaiknya aku tunggu kabar dari Baim”. Gerutuku.

Waktu menunjukkan pukul 10.05 WIB, aku bergegas ke Auditorium untuk mengikuti

seminar UNESCO bersama semua teman satu kelasku, dua jam berlalu tapi

Baim belum juga menghubungiku. Aku merasa hari ini ia tidak peduli lagi padaku,

entahlah! Itu yang ku pikirkan. Rindu ini semakin menyayat hati yang tak sabar

ingin berjumpa dan saling menyapa kasih sayang, hari ini aku pulang ke Bogor

karena kuliahku hanya sampai hari kamis, tapi Baim? Iya masih aku tunggu untuk

memberiku senyuman siang ini.

“ Din, loe kenapa sih? Ditekuk terus muka loe.” Tanya Putri ragu.

“ Baim kemana ya dia enggak ada kabar hari ini Put.” Jawabku sedih.

“ Ah, dia lagi sibuk kali Din. Dia pasti kabarin loe kok! Sabar aja.” Jawab Putri menenangkanku.

“ Hmmm! Iya”. Jawabku singkat.

Pukul 12.45 WIB, seminar selesai. Aku, Putri dan beberapa teman yang lain pergi

menuju Masjid untuk melaksanakan shalat Dzuhur.

“ Put, gua shalat dulu, loe shalat?”. Tanya ku ragu.

“ Gua lagi cuti, haha.. “. Jawabnya terbahak.

“ Oke.”

Pukul 12.55 WIB setelah shalat, aku meraih ponsel di saku jeans-ku.

Hallo Put, loe dimana? Gua mau print tugas dulu ya.”. Ucapku dalam telepon.

“ Ih! Jangan dulu Din, gua butuh loe nih. Please penting! Loe kesini dulu.”. Jawab Putri tergesa-gesa.

“ Emang loe kenapa Put? Loe dimana sekarang?”. Tanyaku bingung.

“ Gua depan Rektorat. Loe cepetan kesini Din, gua butuh loe.”. Jawabnya membuatku semakin bingung.

Ok. Ok. Wait! Gua meluncur.”. Balasku sigap.

Aku berjalan penuh bimbang, ada apa sebenarnya yang terjadi pada sahabatku

itu. Pikiranku semakin tidak karuan. Aku berjalan sedikit cepat, tiba-tiba anak kecil

sekitar umur sepuluh tahun menghampiriku.

“ Ka! Ka! Ayo ikut aku ka.”. Ajaknya sambil menangis dihadapanku.

“ Loh! Kamu kenapa dek? Kakak mau kamu ajak kemana?”. Jawabku bingung tapi penuh simpati.

“ Tolong aku ka, disana ada orang gila. Aku takut.” Sambil menangis anak kecil tak

berdosa itu menarik lenganku begitu kencang, aku semakin bingung dibuatnya. Tapi

aku harus menolongnya, aku teringat adikku yang jauh disana ketika ia takut pasti ia

menjadikanku bahan petak umpat. Haha ada-ada saja!

Jauh ku ikuti langkah anak kecil bermata mungil dan berkulit sawo matang, ia

sudah membawaku sampai tengah lapangan basket berhadapan dengan Gedung

Ekonomi, seketika aku tercengang melihat setangkai bunga mawar putih diujung

telapak kakiku yang hampir saja aku injak.

“ Dek, mana orang gilanya?”. Tanyaku heran.

“ Tadi ada disini ka.”. Jawabnya semakin membuatku bingung.

Ku gelengkan kepalaku ke kiri dan kanan. Aku sama sekali tidak melihat orang gila

disekitar Kampus. Tapi, ketika perlahan ku balikkan badanku ke arah berlawanan,

aku sangat terkejut melihat puluhan orang menghampiriku dengan masing-masing

mengenggam telur, terigu dan tomat busuk mereka diantaranya adalah Putri, teman-teman satu kelasku dan semua keluarga besar HIMA Manajemen yang semakin dekat semakin siap untuk dilempar secara bersamaan ke arahku. Pluk! Pluk! Pluk! Satu per satu badanku dipenuhi dengan bau tak sedap.

“ Aw! Aw!.” Aku merasa sedikit sakit dengan lemparan itu dan mereka terbahak menertawakanku.

“ Ternyata kalian kerjasama untuk menjebakku ya? Huft!.” Teriakku kesal pada teman-temanku.

“ Aku juga ka hehehe...”. Anak kecil bermata mungil itu meledekku.

“ Oh, kamu juga? Hahahhaha.” Tawaku sedikit kesal.

Ketika aku sedang membersihkan badanku yang sangat bau, tiba-tiba pria tampan

mengenakan pakaian biru muda dengan gagahnya menghampiriku, dari kejauhan

Ibrahim begitu membuatku terpesona dengan pakaian menyerupai TNI Angkatan

Udara, pinggangnya yang indah membuatku rindu akan semua tentangnya.

Mendekat dan semakin mendekat, mentari dimata indahnya menyapaku siang

menjelang sore hari ini.

“ Ibrahim.” Sapaku penuh haru dan air mata tak sanggup kubendung.

“ Selamat Ulang Tahun Dina. Aku sayang kamu!.” Ucap Baim dengan penuh kelembutan.

“ A... A... Aku juga sayang kamu Im”. Jawabku terbata penuh air mata.

Rasanya aku ingin memeluknya, tapi ini bukan saatnya. Ini kebahagiaanku yang

tidak bisa aku ungkapakan panjang lebar dihadapannya ini sangat istimewa.

Ternyata ini hari Ulang Tahunku yang ke- 19 tahun, ia membuat kejutan yang indah.

“ Din, ini aku berikan untukmu. Semuanya menyayangimu. Maaf sejak tadi pagi aku

tidak menghubungimu, itu semua memang sudah rencana aku dan teman-temanmu.

Sore ini kita sama-sama pulang ke Bogor, aku segaja menjemputmu dan memberi

ini semua untukmu.”. Ucapnya lembut.

Aku hanya tersenyum lebar menyambutnya, menyambut semua rindu yang telah

lama terpisahkan ruang dan waktu.

Ia datang, ia menjemputku dengan sejuta kejutan. Ia membawa kerinduan yang

telah lama tersimpan dan hari ini ia membawa rindu itu dalam kebahagiaan. Ibrahim

adalah pahlawan istimewa dalam hidupku, saat ini dan selamanya adalah Ibrahim

Pemilik keistimewaan dihatiku. Mentari yang menjemputku di Delapan Mei.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

All of Me (John Legend)

My Days (Find You)

Journey to Jannah