Maidina Afaf

Kapan kau datang? disaat semuanya tak lagi sama, kenapa kau tidak mengetahui semua yang terjadi padaku selama kau tak peduli? kau tak  peduli semua yang terlibat dihatiku, asa dan rasa! Yang membuatku tergila-gila sampai akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Aku pernah datang sebentar, saat itu kau hanya tersenyum sekedar sapaan biasa. Tidak lebih! Kau membuatku semakin bertanya siapa dirimu sebenarnya. Aku ingin mendekatimu perlahan, namun aku takut. Takut kau malah menertawakanku terbahak tanpa reda. Aku memang sudah terbiasa melihat tingkahmu dibelakang dengan perasaan lainnya, tapi aku selalu percaya rindu ini masih ada untuk kau miliki. Namun, kapan kau melirikku seperti kau melirik wanita yang pernah kau cintai? kapan? sampai aku memiliki rindu yang lain! Atau sampai aku tidak mengetahui keberadaanmu lagi? Aku sudah kirimkan surat pada Tuhan untuk disampaikan padamu, semoga kau cepat membalas. Biarkan aku menunggu balasan itu walau berabad-abad lamanya, aku setia pada jawaban T

Pagi ini mentari menyambutku penuh tanda tanya, aku membuka setengah lengan bingkai jendela kamarku dan ku sambut kedatangannya yang penuh warna keemasan. Indah! Sangat indah!. Burung-burung merpati dari loteng tetangga mengepakkan sayapnya bersamaan, seakan menyapaku “selamat pagi”, aku membalasnya penuh senyuman. Delapan Mei, kasurku masih berantakan dengan buku novel, buku Mikro Ekonomi yang tebalnya seratus kali lipat dari kumis Bapak kostan yang tadi malam membukakan pintu ketika aku pulang dari sibuknya aktifitas kampus dan ada satu buku yang juga tergeletak dikasurku, buku yang menceritakan kisah lampau Bandar Udara Adi Sudjipto, Yogyakarta. Baru setengah ku baca, karena memang cukup tebal tapi tak setebal buku Mikro Ekonomi. Aku sejenak terdiam, hatiku lirih mengingat pemilik buku kisah lampau ini. Aku sangat merindukan Ibrahim, yang kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan Baim. Ia sedang melanjutkan study di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia.